![]() |
| Wawancara dengan sesepuh adat Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Cimahi, Cimahi Aktual – Sebuah penelitian menarik dari tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) IPB University berhasil menyoroti keunikan falsafah hidup masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, yang hingga kini tetap menjaga keseimbangan antara alam, budaya, dan spiritualitas.
Kampung kecil yang terletak di kaki Gunung Kunci ini dikenal sebagai salah satu simbol kearifan lokal Sunda yang masih bertahan di tengah arus modernisasi. Dalam riset bertajuk “Ecoculture: Harmoni Adat dan Konservasi sebagai Mitigasi Deforestasi di Kampung Adat Cireundeu”, ditemukan bahwa kehidupan masyarakat Cireundeu sepenuhnya dipandu oleh ajaran Sunda Wiwitan, dengan falsafah Tri Tangtu: Gusti nu Ngasih, Alam nu Ngasah, Manusa nu Ngasuh.
Melalui konsep tersebut, masyarakat diajarkan bahwa manusia tidak berdiri di atas alam, melainkan menjadi bagian dari sistem yang harus dijaga keseimbangannya. “Kelestarian lingkungan dipandang sebagai tanggung jawab spiritual dan sosial,” disampaikan oleh salah satu sesepuh adat, Kang Ais Pangampih, dalam wawancara bersama tim peneliti.
Dari nilai-nilai itu pula lahir pembagian kawasan hutan adat yang dikenal dengan tiga lapisan penting: Leuweung Larangan (hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu), Leuweung Tutupan (hutan yang dipulihkan secara alami), dan Leuweung Baladahan (hutan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam). Tata aturan ini menjadi bentuk nyata dari keseimbangan antara konservasi dan kebutuhan hidup masyarakat.
Dalam temuan penelitian IPB, dijelaskan pula bahwa masyarakat adat Cireundeu memiliki pantangan adat saat memasuki kawasan hutan, seperti larangan memakai alas kaki dan kain berwarna merah. Aturan tersebut dipercaya sebagai bentuk penghormatan terhadap alam yang dianggap sebagai titipan leluhur.
“Bagi kami, hutan bukan sekadar sumber daya, melainkan warisan yang harus dijaga untuk anak cucu. Warisan itu bukan untuk dijual, tapi untuk dijaga,” ungkap Kang Ogi, salah satu nonoman atau pemuda adat Cireundeu.
Melalui riset ini, Kampung Adat Cireundeu kembali diangkat sebagai contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat menjadi solusi ekologis dan budaya di tengah tantangan modernisasi. Harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta yang dijaga masyarakat Cireundeu menjadi inspirasi bahwa pembangunan tidak harus mengorbankan akar budaya dan kelestarian lingkungan.
Semangat ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisi masih dapat berjalan seiring dengan ilmu pengetahuan — sebuah pelajaran penting bagi generasi muda untuk terus menjaga bumi dengan kebijaksanaan leluhur.
Penulis : Fawwaz Zacky - Mahasiswa Kehutanan IPB University

0 Komentar