![]() |
Tulisan |
Bandung, Cimahi Aktual – Sebuah tragedi memilukan mengguncang masyarakat Kabupaten Bandung. Seorang ibu muda berinisial EN (34 tahun) ditemukan meninggal dunia bersama dua anaknya, AAP (11 tahun) dan AA (9 tahun), di rumah mereka di Kampung Cae, Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran, pada Minggu (7/9/2025).
Diduga, EN mengakhiri hidupnya bersama kedua anaknya karena tekanan hidup yang begitu berat, mulai dari lilitan utang, kebohongan dalam rumah tangga, hingga tekanan psikologis dan sosial dari lingkungan sekitar.
Sebuah surat wasiat yang ditinggalkan EN mengungkapkan kesedihan mendalam dan rasa putus asa yang ia alami. Dalam surat tersebut, EN meminta maaf kepada orang tua, saudara, dan kedua anaknya karena tidak mampu bertahan menjalani hidup penuh penderitaan.
“Saya sudah lelah lahir batin, saya sudah tidak kuat menjalani hidup seperti ini. Saya lelah hidup terus-terusan terlilit utang yang tidak ada habisnya, malah semakin hari semakin bertambah,” tulis EN dalam suratnya.
“Aa Alif, Dede Arlan, maafkan mamah. Jalannya harus seperti ini, karena mamah sangat sayang. Daripada ditinggalkan oleh mamah, kasihan pada nenek. Mamah lebih rela ke neraka daripada melihat Aa dan Dede sengsara,” lanjutnya.
Surat tersebut menjadi bukti betapa beban hidup dan tekanan emosional dapat memicu tragedi ketika seseorang merasa tidak memiliki jalan keluar dan kurang mendapat dukungan sosial.
Kurangnya Empati Sosial dan Hilangnya Gotong Royong
Menurut Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI, tragedi ini bukan hanya peristiwa personal, tetapi cermin kegagalan sistem sosial dan kepemimpinan dalam memberikan perhatian kepada masyarakat yang rentan.
“Ini adalah alarm bagi kita semua bahwa komunikasi empatik dan rasa peduli terhadap sesama mulai memudar. Tradisi gotong royong yang dulu kuat, seperti saling berbagi di teras rumah atau ‘golodog’, kini semakin jarang ditemui,” ujar Dr. Dimitri.
Ia menyoroti bahwa dalam masyarakat yang semakin individualistis, masalah sosial sering kali diabaikan, sementara para pemimpin politik kerap hanya hadir saat kampanye dan menghilang setelah terpilih.
Situasi ini diperparah dengan fenomena “flexing” atau pamer kekayaan di media sosial oleh pejabat, yang menurut Dr. Dimitri semakin memperlebar jurang sosial dan memicu rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat miskin.
“Ketika rakyat berjuang untuk bertahan hidup, pejabat justru memamerkan gaya hidup mewah. Ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab,” tegasnya.
Pentingnya Komunikasi Empatik dan Rasionalitas
Dr. Dimitri juga mengutip gagasan dari Marshall Rosenberg tentang Nonviolent Communication (NVC), yang menekankan pentingnya mendengar tanpa menghakimi dan memahami kebutuhan orang lain. Ia juga merujuk pada teori Jürgen Habermas, yang menekankan perlunya dialog rasional dan empatik untuk mencapai keadilan sosial.
Jika pemerintah dan masyarakat mampu memadukan empati dan rasionalitas, tragedi seperti di Kampung Cae dapat dicegah. Misalnya, dengan pendataan akurat oleh aparat desa untuk memastikan bantuan tepat sasaran, serta program pemberdayaan yang berpihak pada rakyat kecil, seperti dari BAZNAS atau CSR perusahaan.
Penutup: Peringatan bagi Semua
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa setiap individu, pemimpin, dan institusi memiliki tanggung jawab moral untuk lebih peka terhadap penderitaan orang lain.
Dr. Dimitri menutup refleksinya dengan ayat Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 159:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.”
“Barang siapa yang menyayangi yang di bumi, akan disayangi oleh Yang di Langit,” tambahnya.
Harapan ke Depan
Dengan memperkuat komunikasi empatik, gotong royong, dan keadilan sosial, tragedi seperti ini diharapkan tidak terulang. Masyarakat diimbau untuk lebih peduli dan responsif terhadap tetangga atau keluarga yang sedang menghadapi kesulitan, sehingga tidak ada lagi orang yang merasa terisolasi dan putus asa.
Tragedi Kampung Cae harus menjadi momentum introspeksi nasional, agar Indonesia kembali pada nilai luhur Pancasila yang menjunjung kemanusiaan dan keadilan bagi semua.(Jumadi)
0 Komentar