![]() |
Ilustrasi |
Kita sering menemui anak yang sulit memahami mengapa temannya sedih saat kalah lomba, atau kenapa harus bergantian main. Situasi ini bukan tanda bahwa anak tidak peduli, melainkan belum mendapatkan latihan emosional yang cukup. Empati bukan sifat bawaan penuh, melainkan kemampuan yang perlu dipupuk sejak dini dengan kebiasaan sehari-hari. Dalam hal ini, peran orang tua bukan sekadar memberi arahan, melainkan menghadirkan teladan konkret dalam interaksi.
Berikut tujuh cara mendasar, berbasis literatur pendidikan dan psikologi anak, yang dapat membantu orang tua membentuk empati anak dengan cara yang aplikatif.
1. Menyediakan Ruang Emosi di Rumah
Menurut The Whole-Brain Child karya Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson, anak perlu ruang aman untuk mengekspresikan emosi tanpa takut dimarahi. Ketika anak menangis atau marah, banyak orang tua cenderung memotong dengan kalimat “sudah jangan cengeng” atau “itu sepele”. Padahal, reaksi itu justru menutup kesempatan anak mengenali emosinya sendiri.
Contoh sederhana adalah saat anak kecewa mainannya rusak. Alih-alih mengalihkan atau meremehkan, orang tua bisa berkata, “Kamu kecewa ya mainannya rusak, pasti rasanya sedih.” Validasi semacam ini mengajarkan anak bahwa emosinya penting, dan dari situ mereka belajar memahami perasaan orang lain.
Anak yang terbiasa mendapat validasi emosional akan lebih mudah menyerap sinyal emosional orang lain. Mereka paham bahwa kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan bukan kelemahan, melainkan bagian dari pengalaman manusia yang layak dihormati.
2. Mengajarkan Melalui Kisah dan Dongeng
Dalam Children’s Literature and Empathy oleh Maria Nikolajeva, dijelaskan bahwa cerita adalah medium efektif untuk menumbuhkan empati. Saat mendengar kisah tokoh yang berjuang, gagal, atau terluka, anak masuk ke perspektif orang lain.
Seorang anak yang mendengar dongeng tentang kancil yang kehilangan rumahnya karena banjir akan berlatih membayangkan rasa kehilangan, meski ia sendiri tidak mengalaminya. Proses imajinasi emosional ini menjadi latihan empati yang kuat.
Maka, membacakan cerita sebelum tidur bukan hanya soal bonding, tetapi juga membuka ruang percakapan emosional. Orang tua bisa menambahkan pertanyaan ringan, “Kalau kamu jadi kancil, apa yang kamu rasakan?” agar anak mulai berlatih menempatkan diri.
3. Memberi Contoh dalam Tindakan Sehari-hari
Dalam Raising Compassionate Kids karya Janice Cohn, ditegaskan bahwa empati anak lebih banyak dipelajari lewat observasi daripada instruksi verbal. Anak merekam bagaimana orang tua memperlakukan tetangga, teman, atau bahkan pelayan toko.
Misalnya, ketika orang tua mengucapkan terima kasih tulus kepada kurir paket, anak menyerap pola interaksi penuh respek. Mereka belajar bahwa setiap orang, tanpa memandang peran sosial, berhak diperlakukan dengan hormat.
Di titik ini, konsistensi orang tua lebih berpengaruh daripada nasihat panjang. Anak lebih peka pada perilaku nyata ketimbang kata-kata kosong.
4. Membiasakan Perspektif Bergantian
Martin Hoffman dalam Empathy and Moral Development menekankan pentingnya kemampuan perspektif-taking, yaitu melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Ini bisa dilatih dengan pertanyaan sederhana ketika konflik terjadi.
Misalnya, anak berebut mainan dengan saudaranya. Alih-alih langsung melarang, orang tua bisa bertanya, “Menurutmu adikmu merasa bagaimana kalau kamu ambil mainannya?” Pertanyaan ini memaksa anak berhenti sejenak untuk memikirkan orang lain.
![]() |
Ilustrasi |
5. Menghubungkan Empati dengan Tanggung Jawab Sosial
Dalam How to Raise Kind Kids karya Thomas Lickona, empati tidak berhenti pada perasaan, melainkan harus terwujud dalam tindakan nyata. Anak perlu dilatih bahwa peduli berarti juga bertindak membantu.
Contohnya sederhana, mengajak anak menyisihkan mainan atau pakaian layak pakai untuk anak lain yang membutuhkan. Dari sini, anak belajar bahwa rasa iba harus diikuti dengan aksi nyata yang membawa manfaat.
Di sini orang tua bisa memperlihatkan hubungan antara emosi, nilai, dan tindakan. Empati bukan sekadar “ikut merasa”, tetapi menggerakkan anak untuk peduli dengan cara yang relevan dengan usianya.
6. Memberi Ruang untuk Refleksi
Dalam The Philosophical Child karya Jana Mohr Lone, anak sejak usia dini bisa diajak merenung tentang pengalaman sehari-hari. Refleksi membantu mereka memahami konsekuensi emosional dari interaksi sosial.
Setelah bermain, misalnya, orang tua bisa bertanya, “Apa yang kamu rasakan ketika temanmu tidak mau berbagi?” atau “Bagaimana menurutmu perasaan dia waktu kamu tidak mau gantian?” Pertanyaan reflektif ini menajamkan kesadaran empatik anak.
Pada tahap ini, orang tua tidak perlu mencari jawaban sempurna. Yang lebih penting adalah membiasakan anak berpikir kritis sekaligus empatik terhadap pengalaman sosialnya sendiri.
7. Mendorong Kolaborasi Bukan Kompetisi
Menurut Alfie Kohn dalam No Contest: The Case Against Competition, lingkungan kompetitif yang berlebihan justru menumpulkan empati karena anak lebih fokus pada kemenangan pribadi. Sebaliknya, kerja sama menumbuhkan rasa kebersamaan.
Orang tua bisa mengajak anak melakukan permainan kolaboratif, seperti menyusun puzzle bersama atau memasak sederhana di dapur. Aktivitas semacam ini mengajarkan anak bahwa keberhasilan bersama lebih bermakna daripada kemenangan individu.
Dengan terbiasa bekerja sama, anak belajar merayakan keberhasilan orang lain, bukan merasa terancam olehnya. Inilah cara halus menumbuhkan empati dalam dinamika sosial yang sehat.
Di tengah perjalanan mengasuh, banyak orang tua sering merasa butuh ruang aman untuk mendalami perspektif baru. Itulah mengapa membaca ulasan mendalam di logikafilsuf bisa jadi cara menyegarkan cara pandang tanpa merasa digurui, karena di sana konten eksklusif seputar filsafat, pendidikan, dan psikologi dibahas dengan bahasa yang renyah.
Pada akhirnya, empati tidak tumbuh dari kata-kata indah, tetapi dari pola asuh konsisten yang memberi anak ruang merasakan, memahami, dan bertindak peduli. Bagaimana menurutmu, adakah kebiasaan sehari-hari lain yang kamu rasa efektif menumbuhkan empati pada anak? Yuk tulis di kolom komentar dan jangan lupa share agar semakin banyak orang tua bisa belajar bersama.
Sumber : Logika Filsuf , Facebook
Penulis : Virgi Ali
0 Komentar